jpnn.com - Tahun 2025 segera berlalu, namun ia meninggalkan jejak yang amat tebal dalam nalar demokrasi kita.
Jika kita harus jujur - dan kita memang harus jujur jika masih mencintai Republik ini - tahun 2025 bukanlah tahun konsolidasi demokrasi, melainkan tahun konsolidasi kekuasaan yang makin menjauh dari rakyat.
Kita menyaksikan sebuah paradoks yang menyesakkan: stabilitas politik tampak begitu tenang di permukaan, namun di bawahnya, fondasi kedaulatan rakyat sedang digerogoti secara perlahan tapi pasti oleh ambisi-ambisi pragmatis para elite yang merasa sudah memenangi segalanya.
Anatomi Politik 2025: Fenomena "Perselingkuhan" Elite
Sepanjang tahun 2025, fenomena yang paling menonjol adalah apa yang saya sebut sebagai "kartelisasi politik yang paripurna".
Dinamika politik kita tidak lagi diwarnai oleh dialektika kebijakan atau perdebatan ideologis yang sehat. Sebaliknya, kita melihat semua kekuatan politik besar seolah-olah masuk ke dalam satu gerbong besar kekuasaan dengan alasan "stabilitas demi pembangunan".
Padahal, dalam kamus demokrasi, ketiadaan oposisi yang kredibel adalah lonceng kematian bagi akuntabilitas dan transparansi.
Peristiwa reshuffle kabinet di pertengahan tahun dan pergeseran beberapa posisi strategis di lembaga-lembaga negara menunjukkan betapa kuatnya tangan-tangan kekuasaan dalam mengatur ritme politik.












































