jpnn.com, JAKARTA - Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) meminta agar regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dibuat lebih proporsional, menyeimbangkan antara aspek kesehatan dan ekonomi rakyat.
Aspirasi ini mengemuka dalam sebuah diskusi publik 'Mengukur Dampak Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Terhadap Pasar Tradisional' yang digelar di Jakarta, Selasa (9/12).
Ketua DPW APPSI DKI Jakarta, Ngadiran, menyampaikan kekhawatiran pedagang pasar tradisional yang sudah tertekan oleh sepinya pengunjung dan masalah retribusi. Menurutnya, penerapan KTR justru akan semakin membebani dan merugikan pedagang.
Ngadiran juga mengusulkan agar istilah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) diubah menjadi Kawasan Dilarang Rokok (KDR), yang dianggap lebih memihak pada pedagang pasar.
"Raperda ini harus berpihak pada pedagang. Jangan sampai aturan kesehatan justru mematikan UMKM di pasar," tegas Ngadiran.
Ia menambahkan bahwa APPSI tidak menuntut penghapusan tunggakan retribusi, melainkan keringanan atau diskon, khususnya bagi pedagang yang terdampak pandemi dan kondisi ekonomi.
Terkait itu, Guru Besar Universitas Trisakti, Prof Dr Trubus Rahadiansyah, lantas mengulik kembali sejarah regulasi KTR. Ia menyebutkan, awalnya pasar tradisional tidak termasuk dalam KTR pada Perda Nomor 109, namun, dalam Peraturan Pemerintah (PP) 28 yang baru, pasar tradisional justru diterjemahkan masuk dalam KTR.
Trubus menegaskan pentingnya proporsionalitas, yang mencakup kesehatan, ekonomi, dan budaya. Ia berpendapat bahwa larangan KTR di pasar tradisional tidak memiliki urgensi dan menyarankan agar pasal terkait pasar rakyat/pasar tradisional lebih baik dikeluarkan (di drop) dari regulasi.












































