jpnn.com, JAKARTA - Menjelang malam pergantian tahun 2025, rasanya kurang lengkap tanpa adanya suara terompet yang riuh. Pada momen ini, meniup terompet sudah menjadi tradisi yang lekat dengan perayaan Tahun Baru di berbagai tempat.
Namun, di balik kemeriahannya, tradisi ini ternyata bukan sekadar kebiasaan yang tidak ada artinya. Meniup terompet saat tahun baru memiliki akar sejarah yang panjang dan berkaitan dengan berbagai budaya hingga agama.
Sejak zaman kuno, terompet sudah dikenal sebagai alat tiup yang memiliki peran penting. Pada masa itu, terompet biasanya terbuat dari tanduk hewan atau cangkang keong yang digunakan dalam ritual keagamaan, peperangan, hingga upacara adat sebagai simbol panggilan dan penanda momen penting.
Diketahui, penggunaan terompet dalam perayaan tahun baru sudah ada sejak era Romawi Kuno, sekitar abad ke-4 hingga ke-5 SM.
Secara filosofis, suara terompet yang keras dipercaya dapat mengusir roh jahat dan mendatangkan keberuntungan. Kepercayaan seperti ini juga dapat ditemukan dalam perayaan Imlek di sejumlah negara Asia.
Selain itu, tradisi meniup terompet juga berkaitan dengan perayaan tahun baru umat Yahudi, yaitu Rosh Hashanah.
Dalam perayaan ini, umat Yahudi meniup Shofar, alat tiup dari tanduk domba jantan. Dalam kitab Taurat, momen tersebut dikenal sebagai Yom Teru’ah atau hari meniup Shofar, yang berfungsi sebagai panggilan untuk beribadah, bertobat, dan memohon pengampunan sebelum hari pendamaian (Yom Kippur).
Seiring waktu, penggunaan alat tiup sebagai penanda waktu dan simbol kegembiraan pun semakin meluas.











































