jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, Adian Napitupulu, menyatakan pemerintah perlu melihat fenomena thrifting secara komprehensif, tidak hanya dari sisi ilegalitas. Hal ini disampaikannya saat menerima audiensi para pedagang thrifting di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (19/11).
Anggota DPR RI Fraksi PDIP ini mengungkapkan thrifting bukan semata soal harga murah. Riset global menunjukkan 67 persen generasi milenial dan Gen Z memilih thrifting karena alasan keberlanjutan, termasuk pengurangan limbah dan penghematan penggunaan air bersih.
Ia menegaskan, industri tekstil baru memiliki jejak lingkungan yang sangat besar. Satu celana jin membutuhkan 3.781 liter air untuk diproduksi. Satu kaus atau kemeja katun memerlukan 2.700 liter air, setara kebutuhan minum satu orang selama 2,5 tahun.
"Jadi, saat anak muda memilih thrifting, mereka sebenarnya sedang berkontribusi pada upaya penyelamatan lingkungan. Ini bukan sekadar gaya hidup murah," ujar Adian.
Menanggapi narasi pemerintah yang menilai thrifting sebagai masalah besar, Adian justru memaparkan data yang menunjukkan proporsi impor thrifting sangat kecil. Menurut data asosiasi garmen dan kementerian, impor tekstil ilegal mencapai 784 ribu ton, sementara impor thrifting ilegal hanya sekitar 3.600 ton.
"Kalau pemerintah mau tegas, harusnya melihat gambaran utuh. Jangan sampai thrifting yang porsinya hanya setengah persen justru ditindak paling keras," tegasnya.
Adian mencontohkan negara besar yang juga mengimpor pakaian bekas. Amerika Serikat menghasilkan Rp2,19 triliun pada tahun 2021, Belanda Rp2,76 triliun, dan Rusia Rp2,18 triliun.
"Perdagangan thrifting adalah bagian dari arus perdagangan dunia. Bukan cuma Indonesia," katanya.








































