jpnn.com, JAKARTA - Indonesia boleh berlari cepat mengejar era elektrifikasi, tetapi satu hal krusial masih tertinggal: jejak hidup baterai atau disebut battery passport.
Peringatan itu datang dari pakar industri otomotif Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu.
Menurut dia, perlunya regulasi battery passport—identitas digital yang merekam asal-usul, usia, hingga kesehatan setiap baterai kendaraan listrik (EV) di tanah air.
“Perlu sejak sekarang pemerintah menyusun regulasi untuk membangun sistem battery passport supaya usia dan asal baterai bisa dilacak,” ujar Yannes saat dihubungi dari Jakarta, Minggu.
Mengapa penting? Karena baterai bekas bukan sampah biasa.
Di balik setiap baterai EV, tersembunyi logam bernilai seperti nikel, kobalt, atau aluminium—dan juga potensi bahaya bila penanganannya keliru.
Battery passport menjadi fondasi untuk memastikan baterai tidak berakhir di TPA, tidak tercecer tanpa jejak, dan tidak diproses dengan cara yang salah.
Paspor digital itu memuat data teknis lengkap: jenis kimia baterai, tahun produksi, riwayat penggunaan, tingkat kesehatan, hingga kapan baterai siap masuk tahap second life sebagai penyimpanan energi sebelum akhirnya didaur ulang.






































