jateng.jpnn.com, SEMARANG - Tragedi demi tragedi di dunia pendidikan tinggi kembali mengguncang publik. Belum lama ini, seorang mahasiswa di salah satu kampus ternama di Bali dikabarkan mengakhiri hidupnya setelah diduga mengalami tekanan sosial dan perundungan.
Kasus serupa sebelumnya juga menimpa seorang mahasiswi pascasarjana yang ditemukan tak bernyawa, dengan dugaan mengalami tekanan di lingkungan akademik.
Dua peristiwa itu memunculkan keprihatinan mendalam. Di tengah kegelisahan itu, Bambang Minarso, dosen sekaligus Pembina Kemahasiswaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) Semarang, menyerukan agar civitas academica lebih peka terhadap kondisi sosial dan psikologis mahasiswa.
Menurut Bambang, bentuk perundungan di dunia akademik tidak selalu berupa kekerasan fisik. “Tekanan sosial bisa datang dari kata-kata tajam, sikap yang merendahkan, bahkan permintaan uang di luar biaya resmi pendidikan,” ujarnya, Rabu (29/10).
Dia menegaskan tindakan kecil yang dilakukan terus-menerus bisa menjadi beban berat bagi mahasiswa. “Tekanan yang berulang, sekecil apa pun, bisa membuat seseorang kehilangan semangat hidup,” kata Bamban.
Bambang menilai dosen memiliki tanggung jawab moral lebih dari sekadar mengajar di ruang kelas. “Mahasiswa bukan sekadar peserta kuliah. Mereka manusia muda yang sedang mencari jati diri. Banyak yang terlihat ceria di kampus, tetapi diam-diam memendam duka,” katanya.
Menurutnya, kehadiran dosen tidak hanya soal presensi fisik, melainkan juga kehadiran empatik. “Satu sapaan ringan, obrolan di kantin, atau tanya kabar sederhana bisa membuat mahasiswa merasa diperhatikan dan dihargai,” tutur Bambang.
Dia juga menekankan pentingnya peran dosen pembimbing akademik untuk mengenali mahasiswa bimbingannya secara personal.





































