jpnn.com, JAKARTA - Komisi XIII DPR RI memperkuat komitmennya untuk meningkatkan perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana melalui revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Rancangan revisi tersebut telah diserahkan kepada Badan Legislasi DPR untuk proses harmonisasi dan pemantapan konsep.
Ketua Komisi XIII DPR Willy Aditya menyatakan bahwa revisi ini merupakan langkah penting untuk menciptakan sistem hukum nasional yang lebih memihak kepada korban.
“Urgensinya adalah merespon semangat baru tentang bagaimana negara memberikan perlindungan kepada korban, saksi, informan, maupun ahli,” ujar Willy seusai rapat pleno penjelasan pengusul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/11).
Willy menambahkan bahwa sistem hukum di Indonesia selama ini masih berfokus pada penghukuman pelaku, sementara perlindungan terhadap korban dinilai belum optimal. Revisi undang-undang ini diharapkan dapat menyeimbangkan paradigma hukum agar lebih humanis.
“Selama ini tata laksana hukum kita hanya fokus menghukum pelaku. Tidak ada upaya negara untuk benar-benar memberikan perlindungan kepada korban,” tegasnya.
Selain aspek perlindungan, revisi ini juga mendorong agar LPSK memiliki struktur kelembagaan hingga ke tingkat daerah dan kabupaten/kota. Hal ini dimaksudkan untuk memperluas jangkauan pelayanan dan memastikan kehadiran negara di tingkat akar rumput.
“Selama ini LPSK hanya ada di pusat. Dengan perubahan ini, kita dorong agar LPSK hadir di wilayah, agar perlindungan hukum bagi korban lebih mudah dijangkau,” kata politikus NasDem tersebut.
Revisi UU LPSK juga akan mengatur pembentukan Dana Abadi Korban atau Victim Trust Fund sebagai sumber pendanaan khusus bagi korban kejahatan yang memerlukan dukungan medis dan psikologis.







































