jpnn.com, JAKARTA - Rencana pemerintah untuk mengimplementasikan program biodiesel B50 dinilai bakal menimbulkan sejumlah dampak. Mulai dari terganggunya proses produksi, penurunan ekspor, hingga melemahkan kesejahteraan petani sawit.
Hasil kajian Pusat Penelitian Pranata Pembangunan, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (Pranata UI) menunjukkan bahwa tingkat blending optimal CPO ke dalam biodiesel seharusnya berada di kisaran 37,8%, atau setara program B40.
Angka ini dianggap paling ideal untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi domestik, ekspor, dan stabilitas harga pangan.
Implementasi B50 tanpa perhitungan matang dikhawatirkan justru menekan pasokan minyak goreng di dalam negeri serta mempersempit ruang ekspor CPO yang selama ini menjadi sumber devisa penting.
"Pemerintah perlu berhati-hati dalam menentukan arah kebijakan energi berbasis sawit," kata Peneliti Pranata UI, Dr. Surjadi, S.E., M.A., Rabu (22/10).
Dia menekankan pentingnya menjaga ketahanan energi sekaligus memastikan stabilitas harga minyak goreng, tandan buah segar (TBS), serta keberlanjutan fiskal Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Surjadi juga mengingatkan agar pemerintah tidak menaikkan pungutan ekspor karena kebijakan itu bisa menekan harga TBS di tingkat petani, terutama petani swadaya yang berisiko mengalami penurunan kesejahteraan akibat kebijakan tersebut.
“Petani yang akan paling dirugikan apabila kebijakan B50 tidak dipertimbangkan dengan masak,” ungkapnya.