jpnn.com - "Barang siapa menguasai Malaka, ia memegang leher dunia." Ungkapan klasik para pelaut abad ke-15 itu menggambarkan betapa strategisnya Selat Malaka dalam sejarah global.
Jalur sempit sepanjang 800 kilometer itu bukan sekadar perairan antara Sumatera dan Semenanjung Malaysia, melainkan urat nadi perdagangan dunia dari Samudra Hindia ke Laut Tiongkok Selatan.
Di masa lalu, Kesultanan Malaka menjadikannya pusat ekonomi, politik, dan peradaban maritim. Di masa kini, Indonesia memiliki peluang yang sama -bahkan lebih besar- untuk mengembalikan kejayaan itu dalam wujud revitalisasi strategis Selat Malaka sebagai poros maritim modern Nusantara.
Dari Malaka Lama ke "Malaka Baru"
Lima abad lalu, di bawah kepemimpinan Sultan Muzaffar Syah dan Sultan Mansur Syah, Malaka menjelma menjadi simpul pelayaran internasional. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs, Kesultanan Malaka adalah "contoh paling murni dari negara pelabuhan transito Indonesia."
Malaka tidak memiliki sumber daya besar, tetapi memiliki kecerdasan geopolitik, dimana ia mengonversi letak geografisnya menjadi kekuatan ekonomi.
Sementara itu, Ismail Fajrie Alatas menulis bahwa Malaka "kedudukan Malaka pada masanya telah merevisi sistem pelayaran kuno dengan meringkas jarak pelayaran antar wilayah, menjadi terpusat hanya pada dirinya. Inilah kunci kemajuan Kesultanan Malaka pada masa itu".
Artinya, semua jalur perdagangan Asia harus singgah ke Malaka sebelum melanjutkan perjalanan. Di situlah nilai tambah ekonomi, diplomasi, dan kebudayaan bertemu.






































