jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Martin D. Tumbelaka menyoroti dilema konstitusional yang muncul pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135 tentang pemisahan pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah.
Hal ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan ahli hukum konstitusi, termasuk mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Taufik Basari, pakar hukum tata negara Abdul Chair Ramadhan, dan akademisi Valina Singka Subekti.
"Putusan MK ini menimbulkan polemik di masyarakat. Kami di Komisi III terus dikejar pertanyaan tentang sikap resmi DPR terkait putusan yang dinilai melanggar konstitusi ini," ujar Martin dalam RDPU di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (3/7).
Martin menggarisbawahi kesamaan pandangan para ahli bahwa putusan MK tersebut berpotensi melampaui kewenangannya.
"Tiga narasumber sepakat bahwa putusan ini bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang menetapkan Pemilu serentak lima tahun sekali. Ini menciptakan dilema bagaimana menjalankan putusan MK yang final tapi bertentangan dengan konstitusi?" tegas anggota Fraksi Gerindra ini.
Ia juga mempertanyakan implikasi hukum jika DPR tidak dapat menjalankan putusan MK. "Apakah DPR bisa menolak implementasi putusan yang inkonstitusional? Kami butuh pandangan ahli untuk menjelaskan ini ke masyarakat," tambah Martin.
Taufik Basari dalam paparannya menggambarkan situasi ini sebagai "dimakan masuk mulut buaya, tidak dimakan masuk mulut harimau". Menurutnya, pelaksanaan putusan akan memperpanjang masa jabatan DPRD tanpa dasar hukum, sementara penolakan berisiko menciptakan kekosongan legislatif daerah selama 2-2,5 tahun.
Patrialis Akbar menekankan perlunya kajian mendalam untuk merumuskan langkah hukum yang tepat. "MK seharusnya tidak boleh menabrak konstitusi yang menjadi dasar kewenangannya sendiri," ujarnya.