Danantara: Antitesis Dutch Disease?

3 hours ago 23

Oleh: Arief Poyuono, Komisaris Pelindo

 Antitesis Dutch Disease?

Facebook JPNN.com LinkedIn JPNN.com Whatsapp JPNN.com Telegram JPNN.com

Komisaris Pelindo Arief Poyuono. Foto: koleksi pribadi

jpnn.com - Indonesia adalah negeri yang nyaris tak pernah miskin sumber daya alam. Sejak era rempah-rempah yang mengundang kolonialisme hingga temuan minyak, gas, batu bara, dan kini nikel (emas putih yang menjadi rebutan dunia), kekayaan alam selalu hadir sebagai janji kemakmuran.

Namun sejarah panjang republik ini justru menyajikan ironi yang pahit, dimana setiap ledakan komoditas hampir selalu berakhir sebagai ilusi. Booming komoditas datang membawa euforia, tetapi segera pergi meninggalkan ketergantungan, kerentanan, dan struktur ekonomi yang rapuh.

Kita mahir mengeksploitasi, tetapi kerap gagap mengelola. Setiap periode harga tinggi komoditas hanya menghasilkan pertumbuhan sesaat, bukan transformasi struktural. Ketika harga jatuh, ekonomi kembali tersandera.

Pola ini berulang dengan wajah yang berbeda, tetapi dengan substansi yang sama. Seolah-olah di baliknya, bersembunyi sebuah penyakit ekonomi klasik yang kerap menimpa negara kaya sumber daya, yaitu “Dutch Disease”.

Karena itu, perdebatan tentang hilirisasi minerba, banjir izin tambang, atau euforia nikel sejatinya bukanlah diskursus yang berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari cerita besar tentang bagaimana negara mengelola kekayaan alamnya. Jika akar masalahnya bersifat struktural dan kelembagaan, maka solusinya pun tak bisa semata teknokratis.

Ketika Boom Berubah Menjadi Bumerang

Dalam diskursus ekonomi, Dutch Disease adalah paradoks kemakmuran. Istilah ini lahir dari pengalaman Belanda pada 1960-an, ketika penemuan gas alam dalam skala besar justru menimbulkan distorsi ekonomi.

Masuknya devisa dalam jumlah besar mendorong apresiasi nilai tukar, membuat sektor manufaktur dan industri non-sumber daya kehilangan daya saing. Barang ekspor menjadi mahal, sementara impor membanjir. Modal dan tenaga kerja berpindah dari sektor produktif jangka panjang ke sektor ekstraktif yang tengah “panas”.

Danantara yang di bentuk oleh Presiden Prabowo Subianto diharapakan menjadikan Dana Kekayaan Negara (SWF) yang merupakan dana investasi milik negara.

JPNN.com WhatsApp

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Read Entire Article
| | | |