jpnn.com - Perayaan Natal senantiasa membawa ingatan kolektif kita pada sebuah kisah yang kontras, kelahiran seorang bayi di palungan hina di tengah sensus penduduk atas perintah Kaisar Agustus.
Di satu sisi, ada kekuasaan imperium yang dingin. Di sisi lain, ada kemanusiaan yang rapuh tetapi penuh harapan.
Dalam konteks Indonesia hari ini, cerita ini menemukan relevansinya tatkala kita merefleksikan kembali makna kedaulatan rakyat di tengah tarikan napas realisme politik.
Natal bukan sekadar ritual liturgis, melainkan sebuah proklamasi tentang martabat manusia. Jika dalam teologi Kristen, Tuhan datang menjadi manusia untuk memuliakan kemanusiaan, maka dalam demokrasi, kekuasaan seharusnya turun dari menara gadingnya untuk mengabdi kepada rakyat.
Di sinilah titik temu antara spiritualitas Natal dan esensi kedaulatan rakyat, yaitu keduanya menempatkan subjek yang paling lemah dan tak bersuara sebagai pusat perhatian.
Kedaulatan yang Terasing
Dalam realitas politik kontemporer, kita sering menyaksikan fenomena pengasingan kedaulatan. Rakyat, yang secara konstitusional adalah pemilik sah kekuasaan, sering kali hanya diposisikan sebagai angka dalam statistik pemilu, mirip dengan warga Yudea yang dicacah dalam sensus Romawi hanya untuk kepentingan pajak dan legitimasi penguasa.
Setelah suara diberikan, rakyat kerap ditinggalkan di luar pintu kebijakan yang tertutup rapat.












































