jpnn.com, JAKARTA - Ahli hukum menekankan bahwa surat edaran (SE) pada dasarnya tidak mengikat secara umum layaknya undang-undang atau peraturan pemerintah, melainkan hanya berfungsi sebagai panduan internal atau petunjuk pelaksanaan kebijakan.
SE itu juga menjadi tidak absah jika memuat sanksi di dalamnya sebab sanksi hanya dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sah.
Seperti diketahui, Gubernur Bali I Wayan Koster menerbitkan Surat Edaran Nomor 09 Tahun 2025 Tentang Gerakan Bali Bersih Sampah pada 2 April 2025 lalu.
Salah satu klausul dalam SE tersebut memuat pelarangan industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) untuk memproduksi dan mendistribusikan AMDK kemasan di bawah 1 liter di seluruh wilayah Provinsi Bali. Di dalam SE itu juga terdapat poin khusus mengenai sanksi bagi yang tidak mengikutinya. Di antaranya, sanksi pencabutan izin usaha.
Para ahli hukum pun bersuara terkait SE yang diterbitkan Wayan Koster ini. Salah satunya adalah ahli hukum tata negara senior yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Profesor Jimly Asshiddiqie. Dia menegaskan bahwa secara hukum SE itu tidak pernah memuat mengenai sanksi dan tidak bisa memaksa.
Dia mengatakan yang ada saksinya itu kalau bertindak atas dasar pelanggaran undang-undang, perda, dan pergub. Karenanya, menurut dia, SE Koster yang memuat sanksi itu jelas-jelas berlawanan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Ahli hukum senior lainnya, Gede Pasek Suardika juga menegaskan SE Koster itu tidak bisa dijadikan landasan untuk memberikan hukuman bagi masyarakat dan pelaku usaha. Dia beralasan SE tidak berada dalam klaster perundang-undangan sehingga tidak bisa digunakan untuk menjatuhkan sanksi.
Ahli hukum dari Universitas Udayana (Unud), Arya Utama, menambahkan bahwa sebenarnya pergub yang sudah ada sebelumnya itu sudah cukup digunakan Koster dalam mengatasi permasalahan sampah di Bali. Jadi, lanjutnya, tidak perlu lagi ada kebijakan baru seperti SE yang tidak memiliki kekuatan hukum sama sekali.












































