jpnn.com, JAKARTA - Asosiasi pedagang thrifting mengungkapkan sekitar 7,5 hingga 10 juta jiwa di Indonesia bergantung pada bisnis pakaian bekas impor. Menghadapi ancaman penindakan, mereka mendesak pemerintah untuk segera duduk bersama guna mencari solusi, termasuk opsi legalisasi dan kesiapan membayar pajak.
Bisnis thrifting tidak hanya tentang gaya hidup, tetapi juga menyangkut hajat hidup jutaan orang.
Dalam audiensi dengan BAM DPR RI, Koordinator Asosiasi Thrifting, Rifai, menyatakan bahwa kebijakan penutupan thrifting akan berdampak pada 7,5 hingga 10 juta jiwa dari Sabang sampai Merauke.
"Berdasarkan data Kementerian UMKM, ada 900 ribu pelaku thrifting. Versi kami, lebih banyak. Kalau dihitung dengan kulinya, pegawainya, mungkin hampir 7,5 juta sampai 10 juta manusia yang bergantung hidup ke thrifting ini," tegas Rifai.
Ia meminta pemerintah menghentikan penindakan sementara dan memberikan kepastian hukum.
Desakan untuk melegalkan thrifting juga diamini oleh Wakil Ketua BAM, Adian Napitupulu. Ia mengingatkan negara tidak mempersulit rakyatnya yang mencari penghidupan.
"Kita harap kalau misalnya negara tidak bisa memberikan lapangan pekerjaan, toh rakyat tetap butuh makan. Ya jangan ditindak-tindak dululah," ujar Adian.
Dukungan untuk legalisasi datang dari sisi konsumen. Adian memaparkan hasil riset bahwa 67 persen generasi milenial dan Gen Z menyukai thrifting karena alasan sadar lingkungan.








































