jpnn.com - Setiap tahun, tanggal 1 Desember menghadirkan suasana yang sulit dijelaskan dengan satu kata saja.
Di berbagai tempat, dari lembah-lembah, di balik gunung-gunung, hingga pesisir Pantai Tanah Papua, di Pasifik, dan berbagai kota di dunia—hari ini menghadirkan campuran rasa haru, takut, harapan, dan ketegangan.
Ada yang menyebutnya hari bersejarah. Ada yang menyebutnya hari terlarang.
Ada pula yang merayakannya dalam hening, tanpa sorak atau keramaian, hanya selembar bendera kecil yang dilipat di dalam dompet, atau digambar diam-diam di halaman buku.
Tanggal inilah yang sejak puluhan tahun lalu dikaitkan dengan Bintang Kejora—atau dalam narasi sebagian kelompok, Bintang Fajar—simbol identitas politik Papua yang terus hidup di tengah berbagai pembatasan.
Namun pertanyaannya kemudian melebar: mengapa tanggal ini begitu penting, apa dampaknya bagi masyarakat Papua, bagaimana sikap pemerintah Indonesia, dan apakah Bintang Kejora akan terus berkibar—secara simbolik maupun fisik—di antara kompleksitas sosial dan politik yang mengitarinya? Artikel ini mencoba mengurainya secara singkat.
Adalah sebuah pertanyaan klasik untuk menanyakan-mengapa bendera Bintang Kejora selalu dikenang setiap 1 Desember?
Sejarah 1 Desember berawal dari periode transisi kekuasaan menjelang penyerahan administrasi Papua dari Belanda kepada Indonesia pada pertengahan abad ke-20.






































