jpnn.com, JAKARTA - Kreator konten kesehatan dan kepala Instalasi Gawat Darurat di salah satu rumah sakit swasta Jakarta Selatan Dokter Gia Pratama menyampaikan aspartam merupakan pemanis buatan yang sudah lama digunakan dalam berbagai produk makanan dan minuman rendah kalori.
“Penggunaan aspartam cukup umum, terutama di kalangan individu yang sedang menjalani program penurunan berat badan. Zat ini bisa menjadi bagian dari strategi transisi dalam usaha mengurangi asupan gula, tanpa menghilangkan sepenuhnya rasa manis dari makanan atau minuman,” kata dr. Gia Pratama dikutip, Rabu (2/7).
Aspartam termasuk salah satu bahan tambahan makanan yang paling banyak diteliti baik oleh badan nasional maupun internasional. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) sudah menanggapi pesan hoaks yang kerap disebar kembali di situs webnya. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA), dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) semuanya menyatakan bahwa aspartam aman dikonsumsi, selama masih dalam batas konsumsi harian yang dianjurkan.
“Saya ingin menekankan pentingnya edukasi publik terkait konsumsi pemanis buatan. Penggunaan aspartam tetap perlu disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan tentunya sebaiknya dikonsumsi dalam batas wajar,” tambah dr. Gia Pratama.
Aspartam adalah pemanis buatan rendah kalori yang sudah digunakan secara global selama lebih dari 40 tahun. Rasa manis aspartam sekitar 200 kali lebih kuat dari gula, sehingga menggunakannya dalam jumlah kecil saja sudah cukup.
Banyak produk seperti minuman ringan, minuman energi, suplemen, hingga obat-obatan menggunakan aspartam karena bisa memberikan rasa manis tanpa menambahkan terlalu banyak kalori. Ini sangat membantu bagi orang yang ingin mengurangi konsumsi gula—baik karena alasan kesehatan, diet, atau kebutuhan medis seperti diabetes.
Namun, kembali beredae pesan viral yang beredar menyebut bahwa aspartam menyebabkan kanker otak, kerusakan sumsum tulang, dan penyakit berbahaya lain, serta menyertakan daftar produk yang diklaim sebagai pemicu.
Namun, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) secara resmi telah menegaskan bahwa informasi itu tidak benar.