jpnn.com, JAKARTA - Wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menuai sorotan.
Tokoh politik nasional Y. Paonganan atau Ongen mengingatkan publik agar tidak mendesak pemerintah dan DPR terburu-buru mengesahkan aturan tersebut tanpa memahami substansinya.
Menurut Ongen, dorongan masyarakat terhadap RUU Perampasan Aset lebih banyak dipicu oleh kemarahan sosial atas gaya hidup hedonis sebagian pejabat negara dan kelompok borjuis.
“Kemarahan publik itu sangat wajar. Namun, jangan sampai desakan itu justru menjadi bumerang ketika isi RUU ini diberlakukan,” kata Ongen dalam keterangan tulisnya, Jumat (5/9).
Dia menegaskan, terdapat pasal dalam draf RUU yang menyebutkan negara berhak merampas harta seseorang hanya berdasarkan informasi atau dugaan tanpa keputusan pengadilan.
“Substansi dasar dari draf ini memberi hak negara untuk merampas harta rakyat hanya dengan dugaan. Padahal, yang paling rentan justru masyarakat menengah ke bawah,” ujarnya.
Dalam draf RUU tersebut, Pasal 2 mengatur perampasan aset tidak harus menunggu putusan pidana (civil forfeiture). Pasal 5 memperluas cakupan perampasan terhadap aset yang tidak seimbang dengan pendapatan atau tidak dapat dibuktikan asal-usulnya.
Pasal 6 menyebutkan perampasan dapat dilakukan terhadap aset bernilai minimal Rp100 juta terkait tindak pidana dengan ancaman hukuman empat tahun atau lebih.