jpnn.com - Beberapa hari lalu bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni. Sebuah ritual yang diulang dari tahun ke tahun.
Namun, sesering itu pula muncul paradoks di tengah kehidupan masyarakat ketika dihadapkan dengan nilai-nilai Pancasila. Elan vital Pancasila seakan “idle”, tidak berdaya dan tidak lebih dari barang usang yang dianggap hanya sebagai lipservice dalam setiap pidato pejabat.
Nilai-nilai luhur Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial makin kabur tenggelam dalam hiruk-pikuk keseharian.
Misalnya, beberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan penemuan uang dalam jumlah fantastis yang diduga sebagai hasil pemufakatan jahat dan gratifikasi mantan pejabat Mahkamah Agung (MA).
Saking kagetnya, Jampidsus Kejaksaan Agung menyatakan, tim penyidik nyaris pingsan ketika menemukan uang tersebut (Tempo, 2025).
Sebuah ironi yang menyakitkan hati masyarakat di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang semakin ramai. Maka dalam konteks ini, mengembalikan elan vital Pancasila menjadi kebutuhan mendesak.
Elan Vital, sebuah istilah yang dikemukakan Henry Bergson dipahami sebagai roh atau semangat hidup. Dalam konteks Pancasila, values-nya tidak boleh hanya sebagai simbol belaka.
Sebaliknya, Pancasila merupakan pedoman etik dan moral yang harusnya menggerakkan setiap kebijakan dan tindakan penyelenggara negara.