jpnn.com, JAKARTA - Perkembangan ekonomi dan dinamika politik Republik Rakyat China (RRC) dinilai berpotensi membawa dampak signifikan bagi negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Kondisi internal China yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi Covid-19 serta perilaku geopolitiknya di kawasan menjadi sorotan para akademisi dan pengamat hubungan internasional.
Sejumlah persoalan ekonomi masih membayangi China, mulai dari krisis properti, pengangguran, penuaan populasi, deflasi, hingga persaingan industri yang tidak sehat.
Tekanan tersebut mendorong pengalihan barang-barang China ke pasar Asia Tenggara dan memicu banjir produk murah di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia.
Selain tantangan ekonomi, kawasan juga dihadapkan pada persoalan keamanan. Ketegangan di Laut China Selatan akibat tindakan agresif China di sekitar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara ASEAN serta meningkatnya aktivitas militer di wilayah maritim Asia Tenggara dinilai berpotensi mengganggu stabilitas kawasan.
Indonesia juga diingatkan untuk mewaspadai klaim sepihak China melalui garis putus-putus yang kini berjumlah 10.
Ahli Hubungan Internasional Universitas Presiden, Teuku Rezasyah, menyatakan, garis ini sebelumnya telah ditambah menjadi 10, beberapa pihak mengkhawatirkan di masa mendatang China menambah menjadi 11 dan itu mencakup wilayah Indonesia di Natuna. "Meski itu belum terjadi, ada baiknya kita waspada," kata Teuku Rezasyah.
Berbagai isu tersebut mengemuka dalam Diskusi Akhir Tahun Forum Sinologi Indonesia (FSI) bertajuk “Refleksi 2025: Relasi China, Asia Tenggara, dan Indonesia” yang digelar di Jakarta, 29 Desember 2025.












































