jpnn.com, JAKARTA - Mantan Menteri Perdagangan periode 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, mengibaratkan persidangan kasus dugaan korupsi importasi gula yang menjeratnya sebagai terdakwa layaknya sebuah peperangan. Hal tersebut ia sampaikan saat membacakan duplik atau tanggapan atas replik jaksa penuntut umum dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (14/7).
"Benar-benar all hands on deck, semua pihak mengerahkan semua sumber daya demi kemenangan," kata Tom Lembong.
Ia menggambarkan jalannya persidangan selama hampir empat bulan sebagai medan tempur yang penuh dengan tuduhan, bantahan, kesaksian, keterangan, serta pro dan kontra yang saling dilontarkan layaknya rudal dan roket. Menurutnya, istilah The Fog of War atau kabut peperangan sangat tepat untuk melukiskan suasana persidangan tersebut.
Meski begitu, Tom menyebut hal itu sebagai sesuatu yang wajar dalam proses hukum. Ia menilai seluruh pihak memang bertarung sekuat tenaga demi membuktikan kebenaran versinya masing-masing.
Namun, ia berharap kini seluruh pihak bisa mengambil jeda agar kabut, abu, dan asap dari peperangan itu mengendap, sehingga udara kembali jernih dan suasana persidangan menjadi tenang. Dengan begitu, menurut dia, majelis hakim dapat mempertimbangkan perkara yang menjeratnya dengan pikiran, hati, dan jiwa yang jernih.
"Karena kalau masih tetap suasana abu, debu, asap, kabut, dan berisik, maka akan sulit untuk dapat mewujudkan keadilan melalui proses nurani yang tenang dan dalam," ujarnya.
Tom Lembong juga mengajak semua pihak untuk memasuki masa di mana hanya fakta, realitas, dan logika objektif yang dikedepankan dalam menyikapi perkara ini.
Dalam kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015–2016, Tom Lembong dituntut hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp750 juta, subsider enam bulan kurungan. Ia didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp578,1 miliar karena menerbitkan surat pengakuan impor atau persetujuan impor gula kristal mentah kepada 10 perusahaan tanpa melalui rapat koordinasi antarkementerian serta tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.