jpnn.com, JAKARTA - Tokoh agama dan akademisi sepakat bahwa kebebasan berpendapat harus dijalankan secara tertib agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas dan kepentingan nasional.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Marsudi Syuhud, menegaskan bahwa penyampaian kritik kepada pemerintah adalah bagian dari ajaran agama sekaligus hak yang dijamin konstitusi. Namun, menurutnya, ekspresi tersebut harus tetap berada dalam koridor hukum.
“Menyampaikan pendapat adalah hak, tapi kalau sampai merusak dan menjarah, jelas melanggar hukum agama maupun hukum positif,” ujar K.H. Marsudi Syuhud dalam pernyataannya, Selasa (2/9).
Dia menjelaskan, menjaga ketertiban adalah bagian dari kesabaran dalam menjalankan aturan. Aksi yang menimbulkan kerusakan dinilai bertentangan dengan nilai agama dan hukum, serta berpotensi mengorbankan jiwa maupun harta publik.
Marsudi juga mengapresiasi langkah cepat Presiden Prabowo Subianto yang segera mengundang tokoh lintas agama untuk meredam potensi eskalasi politik. Menurutnya, inisiatif tersebut menjadi contoh nyata bahwa dialog dapat menjadi kunci mencegah aksi-aksi destruktif.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, menekankan bahwa demokrasi memang memberi ruang luas bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi. Namun, batas-batas tetap perlu dijaga agar tidak menimbulkan dampak buruk.
“Ketika protes berubah menjadi perusakan fasilitas umum, maka masyarakat sendiri yang paling dirugikan karena kehilangan akses terhadap layanan publik,” tegas Aditya Perdana.
Aditya menilai, demonstrasi yang berlebihan kerap memunculkan ketidakpercayaan antarsesama warga. Oleh karena itu, pengingat mengenai aturan berdemonstrasi—mulai dari tata cara hingga batas waktunya—harus terus disampaikan.