jpnn.com - Gelombang reformasi BUMN tengah bergulir. Ketika Presiden Prabowo Subianto menyebut praktik pembayaran tantiem di BUMN sebagai "akal-akalan" dalam pidato kenegaraan 15 Agustus 2025, nada satirnya bergelegar bukan sekadar retorika biasa.
Prabowo membeberkan kenyataan pahit. Komisaris BUMN yang rapat sebulan sekali namun mengantongi Rp 40 miliar per tahun, terminologi asing "tantiem" yang sengaja dipakai agar tidak transparan, dan struktur pengawasan yang "tak masuk akal" saat perusahaan merugi.
Di ujung pidato, presiden kedelapan Indonesia itu memberikan penugasan khusus kepada Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara). Tugas khusus itu adalah menghilangkan tantiem dan perampingan struktur Komisaris BUMN.
Di balik panggung politik, CEO Danantara Rosan Roeslani, ternyata telah menggerakkan mesin reformasi dengan mengeluarkan Surat S-063/DI-BP/VII/2025 tertanggal 30 Juli 2025, dua minggu sebelum pidato presiden.
Rosan telah resmi memangkas insentif berbasis laba untuk direksi dan dewan komisaris BUMN serta anak usaha.
Khusus untuk direksi, pemberian insentif dan tantiem tetap dimungkinkan namun harus mengacu pada laporan keuangan yang sah, merefleksikan hasil operasi riil, dan mencerminkan kegiatan usaha berkelanjutan.
Kebijakan taktis ini bukan saja menyelaraskan BUMN dengan standar OECD (Economic Cooperation and Development), tetapi juga membuka pintu penghematan uang negara sebesar Rp8 triliun dari kebocoran anggaran yang selama ini disembunyikan di balik istilah "tantiem".
Praktik kompensasi BUMN telah lama menjadi lumbung pemborosan sistematis. Sebelum reformasi 2025, dewan komisaris BUMN yang idealnya berfungsi sebagai pengawas kerja direksi, justru menerima tiga jenis insentif yakni tantiem (bagian dari laba perusahaan), bonus kinerja, dan insentif jangka panjang.