jpnn.com - Pasal 7A UUD NRI 1945 secara tegas menyebutkan dasar hukum untuk pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa jabatannya. Adapun bunyinya:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Berdasarkan pasal tersebut, secara teoritis dan yuridis, siapa pun yang menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden – termasuk Wapres Gibran Rakabuming Raka – dapat diberhentikan jika memenuhi unsur-unsur pelanggaran yang disebutkan. Di antaranya:
1. Melakukan pelanggaran hukum berat, seperti:
• Pengkhianatan terhadap negara
• Korupsi
• Tindak pidana berat lainnya
• Perbuatan tercela
2. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden
Namun, perlu ditegaskan bahwa langkah pemakzulan bukan sekadar isu legalistik, melainkan juga politik. Realitas saat ini menunjukkan tidak adanya bukti hukum yang kuat maupun proses hukum yang berjalan terhadap Gibran.
Maka, wacana pemakzulan dalam kondisi saat ini lebih bernuansa politis daripada konstitusional.
Lebih dari itu, sejarah demokrasi global memperlihatkan bahwa pemakzulan Wakil Presiden adalah hal yang sangat langka. Yang lebih sering terjadi adalah pengunduran diri, reshuffle politik, atau pergantian karena Presiden dimakzulkan. Dalam konteks Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden adalah satu paket pilihan rakyat dalam sistem pemilu langsung. Maka, pemakzulan terhadap Wakil Presiden tanpa dasar hukum yang kuat bukan hanya mencoreng nama pribadi, tetapi juga meruntuhkan legitimasi pasangan yang dipilih rakyat secara sah.
Kita juga perlu mempertanyakan, apakah dorongan terhadap wacana ini murni demi kepentingan konstitusional dan bangsa? Atau ada ambisi kelompok tertentu yang tidak mampu menerima perubahan arah politik, terutama ketika anak muda mulai diberi ruang untuk tampil?
Saya menaruh hormat yang tinggi kepada para purnawirawan TNI sebagai tokoh yang telah menjaga kedaulatan dan kehormatan bangsa. Namun, keterlibatan dalam wacana yang cenderung merusak legitimasi demokrasi justru bisa menodai citra TNI sebagai institusi yang netral dan profesional.