jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR RI Marinus Gea menyatakan kualitas demokrasi dan perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia masih menghadapi persoalan mendasar. Pernyataan ini disampaikan menanggapi laporan Indeks HAM 2025 dari SETARA Institute, yang mencatat indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat berada di skor terendah, yaitu 1,0 dari skala 1-7.
Menurut Marinus, skor rendah itu terkait dengan sejumlah masalah seperti tindakan represif aparat, kekerasan terhadap jurnalis, dan kriminalisasi melalui UU ITE. Ia juga menyoroti pembatasan kegiatan akademik yang mempersempit ruang sipil.
"Data AJI mencatat 82 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2025, meningkat dari 73 kasus di tahun sebelumnya. Amnesty International juga mencatat 710 kasus kriminalisasi ujaran kebencian dan pencemaran nama baik berbasis UU ITE sejak 2018–2025. Kasus pembatalan kegiatan akademik hingga intimidasi terhadap musisi turut memperkuat indikasi penyempitan ruang sipil," ujar Marinus Gea pada Jumat (12/12).
Politikus PDIP dari Komisi III DPR RI itu menegaskan skor tersebut adalah peringatan serius.
"Kami memandang bahwa skor rendah ini sebagai tanda keras buruknya perlindungan HAM bagi warga," kata Marinus.
Ia mendorong pemerintah memastikan ruang publik aman bagi warga negara dalam menyampaikan pendapat tanpa rasa takut.
"Kita mau semua warga negara tidak dibayang-bayangi ketakutan saat menjalankan hak asasinya. Skor ini nyaris mentok di angka paling bawah. Lalu apakah kita bisa bilang HAM di Indonesia baik-baik saja? Ini tugas pemerintah menjaga hak warganya, dan hal itu terus kami ingatkan melalui Kementerian HAM," ucapnya.
Marinus menilai pemerintah perlu mengambil langkah tegas dan terstruktur untuk memperkuat kebebasan sipil. Ia menyoroti pentingnya pembenahan tata kelola penggunaan UU ITE agar tidak menjadi alat membungkam kritik, serta evaluasi terhadap penanganan aksi massa.










































