jpnn.com, JAKARTA - Sengketa penamaan wilayah maritim antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat ke permukaan ketika pada 7 Agustus 2025, pemerintah Malaysia secara tegas menolak penggunaan istilah "Laut Ambalat" dalam menyebut wilayah sengketa di perairan Laut Sulawesi.
Penolakan ini dinilai sejumlah kalangan bukan sekadar masalah nomenklatur, melainkan bagian dari dinamika klaim kedaulatan maritim yang telah berlangsung puluhan tahun.
DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, pengamat maritim kritis dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), menilai bahwa sikap Malaysia harus dilihat sebagai upaya strategis dalam membentuk persepsi internasional tentang klaim wilayah mereka.
"Dalam diplomasi maritim, nama bukan sekadar simbol. Dia adalah perangkat hukum dan politik yang dapat memengaruhi legitimasi klaim suatu negara atas wilayah tertentu," ujar Capt. Hakeng di Jakarta, Jumat (8/8).
Menurutnya, istilah "Ambalat" bukan semata ciptaan Indonesia, tetapi telah melekat dalam proses teknis, peta resmi, dan dokumen diplomatik nasional sebagai representasi klaim sah terhadap wilayah yang terletak di Blok ND6 dan ND7, kawasan yang kaya sumber daya migas.
Sementara, Malaysia, dalam Peta Baru 1979, secara sepihak mencantumkan wilayah tersebut sebagai bagian dari zona ekonomi eksklusifnya dan menyebutnya sebagai bagian dari ‘Laut Sulawesi’.
Meski telah ditentang keras oleh Indonesia, klaim itu terus diulang dan diperkuat dengan narasi hukum, termasuk merujuk pada putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 2002 terkait Pulau Sipadan dan Ligitan.
Namun Capt. Hakeng mengingatkan bahwa putusan ICJ tersebut tidak serta-merta mencakup delimitasi maritim di sekitarnya.