jabar.jpnn.com, KOTA BANDUNG - Surat Edaran (SE) saat ini sering dibuat oleh kepala daerah tanpa melihat peraturan perundangan yang lebih tinggi, bahkan terkadang bertentangan.
Pakar Hukum dari Unisba Rusli K. Iskandar mengatakan aturan hukum jika dianalogikan adalah sebuah koridor lurus sementara SE ada didalamnya.
"SE tidak bisa dibuat seenaknya menabrak koridor hukum. Itu bisa digugat balik dan dievaluasi oleh Mendagri," kata Rusli dalam diskusi ekonomi bertema 'Diskusi Menuju Regulasi yang Akuntabel : Mengembalikan Fungsi Surat Edaran dalam Sistem Hukum Nasional' di Bandung, Jumat (12/12/2025).
Menurutnya saat ini SE sudah dianggap sebagai aturan yang mengikat publik, padahal sejatinya SE itu berlaku internal atau mengatur urusan khusus kepala daerah yang bersangkutan (yang membuat SE).
Kondisi ini sudah salah kaprah karena dibuat seperti titah seorang raja yang bebas bertindak atau FREIES ERMESSEN.
"Jika ingin mengikat publik secara penuh harus setingkat Perda saja, ada konsultasi yang dilakukan sebelum dibuat seenak hati. Hukum itu ada etika dan etika itu posisinya diatas hukum," tegasnya.
Mendagri dapat mengenakan sanksi bagi kepala daerah yang mengeluarkan SE dan berakibat mengganggu atau meresahkan masyarakat dan iklim usaha.
"Yang merasa dirugikan dapat menggugat ke Mendagri, uji saja nanti disana nanti akan ada evaluasi. Sudah pernah dilakukan terhadap SE Gubernur Bali terkait larangan menjual air kemasan dibawah 1 liter, Mendagri meminta untuk dievaluasi karena mengganggu sektor usaha di sana," ucapnya.








































