jogja.jpnn.com, YOGYAKARTA - Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada mantan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong menimbulkan berbagai tafsir dan kontroversi mengenai motif politik di baliknya.
Kepala Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengungkapkan keraguannya terhadap alasan rekonsiliasi nasional yang dipakai sebagai dasar kebijakan tersebut.
Menurut Zainal, secara politik, kasus Hasto dan Tom Lembong mungkin dapat dikategorikan sebagai kasus politik, tetapi hal tersebut tidak cukup untuk menjadi dasar rekonsiliasi nasional sebagaimana disampaikan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.
“Makanya saya bilang, agak puyeng. Ini kasus politiknya di mana? Taruhlah ini kasus politik. Akan tetapi, rekonsiliasi nasional apa yang mau direkonsiliasi? Apa yang sedang retak?” kata Zainal dalam sebuah acara bincang Caksana Institute bertajuk “Amnesti dan Abolisi Pelaku Korupsi: Supremasi Hukum vs Politik Kekuasaan?” pada Sabtu (2/8).
Ia menilai bahwa persoalan yang ada lebih berkaitan dengan dinamika internal elit politik, yaitu hubungan Presiden Prabowo dengan tokoh politik lainnya seperti Joko Widodo atau Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati.
Zainal menduga bahwa penggunaan istilah rekonsiliasi nasional justru bisa menjadi alat legitimasi untuk menyelesaikan persoalan politik internal elit melalui jalur hukum.
Lebih jauh Zainal mengkritisi praktik ini karena berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi sistem hukum dan politik Indonesia.
“Kalau misalnya nanti Jokowi yang dibawa ke proses hukum, Presiden Prabowo bisa menggunakan amnesti yang sama,” katanya.