jpnn.com, JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Imparsial, PBHI, HRWG, dan sejumlah organisasi lainnya menolak tegas rencana penerapan status darurat yang dinilai akan membuka jalan bagi darurat militer. Mereka menegaskan bahwa langkah tersebut tidak akan menyelesaikan akar masalah gejolak sosial dan justru bertentangan dengan Konstitusi.
Dalam rilis persnya, Koalisi menyatakan bahwa gejolak sosial belakangan ini disebabkan oleh kegagalan negara dalam menjamin keadilan ekonomi dan sosial, serta tersendatnya saluran aspirasi.
Kebijakan negara yang dinilai tidak adil, seperti kenaikan tunjangan pejabat dan penarikan pajak yang berlebihan, disebut sebagai pemicu konflik.
"Rencana penerapan status darurat sesungguhnya tidak menjawab akar persoalan yang sesungguhnya. Penerapan status darurat jelas tidak diperlukan dan justru akan menambah masalah baru dalam masyarakat, termasuk risiko naiknya eskalasi konflik dan kekerasan," tulis Julius Ibrani, Ketua PBHI, dalam pernyataan resmi yang diterima, Senin (1/9).
Koalisi menambahkan, yang dibutuhkan saat ini adalah permintaan maaf yang tulus dari negara atas gagalnya mendistribusikan keadilan serta evaluasi kebijakan yang tidak pro-rakyat. Mereka juga mendorong penanganan demonstrasi yang lebih persuasif sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.
Rilis tersebut juga menyoroti pernyataan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin tentang peran TNI. Koalisi menilai pernyataan itu keliru secara konstitusional.
"Secara Konstitusional, militer—TNI semestinya hanya menjalankan fungsi pertahanan. Oleh karena itu, pernyataan Menteri Pertahanan tersebut tidaklah tepat, dan tidak sejalan dengan Konstitusi," bunyi rilis itu.
Koalisi mengingatkan bahwa fungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum adalah wewenang penuh Kepolisian, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UUD 1945.