jpnn.com - BANYAK kepala daerah sedang limbung, terutama yang pemdanya belum memiliki kemandirian fiskal. Pada awal tahun ini, Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Inpres No 1/2025 Tentang Efisiensi Belanja APBN dan APBD.
Target inpres itu memangkas biaya belanja negara sebesar Rp 306 triliun yang dianggap tidak efisien. Dana transfer ke daerah pun ikut terpotong sebesar Rp 50,9 triliun.
Mau tidak mau, kucuran dana pusat menjadi cekak. Sementara itu, sebagian besar pendapatan daerah sangat bergantung transfer dari pusat.
Dana transfer secara rata-rata besarnya sekitar 75 persen dari total pendapatan daerah. Beberapa daerah tingkat ketergantungannya pada kucuran dana transfer mencapai 85 persen.
Ketika kucuran duit dari pusat dikecilkan, mau tidak mau daerah harus putar otak menari alternatif pendapatan lain. Ada tiga sumber yang bisa menjadi pendapatan asli daerah (PAD), yaitu pajak, retribusi, dan hasil usaha.
Mencari dari hasil usaha sepertinya bukan persoalan gampang. Lihat saja, BUMD yang berdiri di berbagai daerah belum mampu memberikan sumbangan signifikan buat APBD mereka.
Data mencatat sumbangan hasil usaha BUMD untuk kas daerah tidak lebih dari 2 persen. Kebanyakan BUMD justru bergantung pada penyertaan modal pemerintah daerah untuk sekadar hidup. Alih-alih memberikan pendapatan, banyak BUMD justru menjadi keran pengeluaran dana pemda.
Yang paling mudah untuk menarik dana demi menggenjot PAD tentu menggali pendapatan melalui pajak dan retribusi daerah. Jalan paling mudah, misalnya, menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Berbagai daerah pun menaikkan PBB demi menambal APBD karena berkurangnya kucuran dana pusat.