jpnn.com, JAKARTA - KITA sedang hidup di era yang ditandai dengan derasnya arus informasi, pesatnya inovasi teknologi, dan kerasnya guncangan sosial akibat digitalisasi.
Teknologi digital dan internet, yang awalnya dirancang sebagai sarana mempercepat kerja, memperluas wawasan, serta memperpendek jarak sosial maupun geografis, kini juga menjadi sumber ancaman serius bagi harmoni sosial dan ketahanan bangsa.
Fenomena hoaks, ujaran kebencian, radikalisme berbasis siber, hingga penipuan daring telah membuka mata bahwa pertempuran masa kini tidak lagi berlangsung di medan perang fisik, melainkan di ruang maya.
Dalam konteks inilah literasi digital bukan sekadar keterampilan tambahan, melainkan pondasi utama bagi resiliensi nasional.
Sayangnya, fakta menunjukkan Indonesia masih rapuh menghadapi derasnya gempuran informasi digital.
Hasil survei We Are Social 2023 menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat penggunaan internet tertinggi di Asia Tenggara, tetapi literasi digital masyarakatnya masih berada pada kategori “sedang” -sebuah paradoks yang menunjukkan betapa lemahnya kesiapan kita menghadapi risiko disinformasi dan manipulasi digital.
Literasi Digital sebagai Pilar Pertahanan Baru
Paul Gilster (2007) mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital. Definisi ini sederhana, tetapi relevansinya di era siber sangatlah mendalam.