jateng.jpnn.com, REMBANG - Jauh dari Kawasan Sentra Industri Garam Nasional (K-SIGN) di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, asa juga tumbuh di pesisir utara Jawa Tengah.
Di Desa Tanbakagung, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, para petani garam terus berusaha mempertahankan produksi mereka meski harus berhadapan dengan cuaca yang makin sulit ditebak.
Di lahan setengah hektare miliknya, Suntono tampak bekerja tanpa henti di bawah terik matahari. Menjadi petani garam bukan pekerjaan baru baginya. Profesi itu dia tekuni sejak 1990-an, melanjutkan usaha turun-temurun dari kakek dan ayahnya.
“Jadi petani garam itu diniati kerja. Kalau sudah niat, ya semangat. Namun, kalau kena hujan deras, kami harus mengulang lagi,” kata Suntono saat ditemui JPNN.com, Jumat (7/11).
Lahan yang dia kelola bersama seorang pekerja dibagi menjadi kolam air muda, kolam air tua, meja garam, serta galengan. Setelah penataan lahan dan pemasangan geomembran, air laut dibiarkan mengendap selama 15-20 hari sebelum panen. Namun, hujan deras bisa membuat proses itu molor hingga 10 hari lebih lama.
Dulu, para petani masih bisa memprediksi waktu turunnya hujan dengan 'ilmu titen' pengamatan alam yang diwariskan secara turun-temurun. Kini, tanda-tanda itu tidak lagi akurat.
“Sekarang susah ilmu titen. Biasanya kalau air pasang sudah siang, itu tandanya musim hujan,” ujarnya sambil mengecek kincir angin untuk memompa air laut mengairi tambaknya.
Masalah lain muncul dari saluran air laut yang cepat dangkal akibat sedimentasi. Para petani terpaksa mengeruk lumpur secara mandiri dengan biaya iuran. Akses jalan menuju tambak pun diperbaiki secara swadaya.




































