jpnn.com - Pilar ketiga perlawanan Tuan Rondahaim adalah legitimasi kultural, yang berakar pada kosmologi ginjang-tonga-toru dan prinsip sahala.
Rondahaim memposisikan dirinya sebagai pangulu ni partuanan, pemimpin yang menjaga keseimbangan kosmik, bukan sekadar panglima perang.
Turiturian ni Raja Raya (1890) mencatat pidatonya di harungguan tahun 1884: “Ndang au mambuat pemberontakan! Au mangalaho sahala ni ginjang-tonga-toru supaya horas halak Simalungun” (“Aku tidak membuat pemberontakan! Aku menjunjung kekuatan atas-tengah- bawah agar sejahtera rakyat Simalungun”) (Yayasan Pustaka Simalungun, MS.TRR/1890). Pidato ini menegaskan bahwa perlawanan Rondahaim didasarkan pada tanggung jawab kosmik, bukan ambisi pribadi seperti yang dituduhkan dalam narasi kolonial.
Ritual pasahat horja menjadi alat utama untuk memperkuat legitimasi kultural.
Dalam ritual ini, Rondahaim mempersembahkan beras merah (horja) kepada leluhur untuk memohon sahala ginjang, sambil mengadakan harungguan untuk mencapai konsensus (sahala tonga) dan memastikan dukungan ekologis (sahala toru).
Naskah Adat Parpitu (1425) menetapkan prosedur ritual ini: “Molo pasahat horja, sai marhohang ginjang, sai marroha tonga, sai horas toru” (“Jika mempersembahkan horja, utuhlah langit, bersatulah manusia, sejahteralah bumi”) (Perpustakaan Leiden, Cod.Or.2341, fol. 20r).
Rekonstruksi ritual ini oleh datu Ompu Bintang pada tahun 2023 berdasarkan naskah abad ke-14 menegaskan bahwa praktik ini tetap hidup, meskipun dihadapkan pada kristenisasi (Laporan Restitusi Adat, 2023: 12).
Belanda berusaha melemahkan legitimasi kultural ini melalui kristenisasi dan penghancuran simbol adat. Laporan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) tahun 1890 mencatat: “Wir haben ihre heidnischen Altäre zerstört und die Priester verjagt” (“Kami hancurkan altar kafir mereka dan usir para dukun”, Archiv der RMG, Bericht Nr. 45).