jatim.jpnn.com, SURABAYA - Sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Ngawi kembali berlanjut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya.
Dalam sidang yang mendudukkan notaris Nafiaturrohmah sebagai terdakwa itu, majelis hakim menghadirkan tiga ahli sebagai saksi meringankan. Mereka adalah ahli pidana Dr H Mudzakkir SH MH dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, ahli perpajakan Dr Doni Budiono S.Ak, SH, MH, serta ahli kenotariatan Dr Habib Adjie SH MHum.
Ahli pidana Dr H Mudzakkir menjelaskan esensi tindak pidana korupsi dalam perspektif hukum. Menurutnya, unsur utama korupsi adalah adanya perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian keuangan negara secara nyata.
Menurutnya, kerugian negara harus dibuktikan terlebih dahulu.
"Siapa yang menentukan kerugian negara? Sesuai undang-undang, hanya BPK RI yang berhak. Apabila inspektorat melakukan penghitungan maka hak itu tidak bisa digunakan untuk produk hukum,” ujar Mudzakkir dalam persidangan, Selasa (16/12).
Dia menyatakan kerugian negara dalam perkara korupsi harus bersifat actual loss atau kerugian yang benar-benar telah terjadi dan dapat diukur secara faktual.
“Potential loss mengandung asas ketidakpastian hukum atau kata MK inkonstitusional. Apabila cara ini digunakan oleh penyidik untuk mentersangkakan orang maka penyidik memiliki itikad tidak baik dalam penegakan hukum,” katanya.
Kuasa hukum terdakwa, Dr Heru Nugroho menilai keterangan para ahli makin menguatkan bahwa syarat formil perkara yang menjerat kliennya tidak terpenuhi.









































