jakarta.jpnn.com - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang kedua perbaikan permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Senin (3/11).
Judicial review itu dilayangkan kelompok mahasiswa FHUI, perwakilan masyarakat lokal, dan masyarakat hukum adat (MHA) terdampak tambang, diwakili secara hukum oleh Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Menurut Kepala LKBH FHUI Aristo Pangaribuan, permohonan berfokus pada dua pasal utama yang dianggap sebagai "jantung" permasalahan tata kelola sumber daya alam Indonesia, yaitu Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 92 UU Minerba.
"Kedua pasal ini secara fundamental mereduksi makna "dikuasai oleh negara" sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945," kata Aristo.
Dia menjelaskan, secara sederhana, Pasal 92 bukan hanya norma kepemilikan yang berdiri sendiri, melainkan merupakan output logis dari Pasal 35 yang lebih dahulu mengubah penguasaan negara menjadi perizinan administratif.
"Ketika negara hanya berperan sebagai penerbit izin, konsekuensinya logis, hasil tambang berpindah tangan. Karena itu, dua pasal ini membentuk satu rezim privatisasi yang utuh," ujarnya.
Mengenai permohonan Pasal 35 ayat (1) (Rezim Perizinan), Aristo menjelaskan pemohon menilai ketentuan yang menyatakan usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan "perizinan berusaha dari pemerintah pusat" mereduksi peran negara menjadi sekadar fungsi administratif dan pemberi izin, bukan sebagai pengelola substantif.
"Hal itu melanggar asas kekeluargaan dan menghilangkan kontrol negara atas cabang produksi strategis," ujarnya.


































