jpnn.com, JAKARTA - Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu menanggapi pemerintah menghentikan instetif mobil listrik yang dijual secara Completely Built-Up (CBU).
Diketahui, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan tidak lagi memperpanjang insentif untuk mobil berbasis baterai listrik (battery electric vehicle/BEV) yang dijual di pasar domestik dengan skema impor utuh (Completely Built-Up/CBU) pada 2026.
"Langkah pemerintah sudah sangat tepat untuk menghindari ketergantungan terhadap barang impor," ungkap Pasaribu saat dihubungi Antara dari Jakarta, Jumat (12/9).
Dia menjelaskan mencabut insentif CBU adalah keputusan yang strategis untuk mendorong industrialisasi dan menghindari ketergantungan impor.
Keputusan tersebut, lanjutnya, bisa diambil dengan langkah dan persiapan yang matang, sehingga tidak berbenturan dengan cita-cita pemerintah yang menginginkan terjadinya peralihan yang cepat ke kendaraan listrik di Indonesia.
Menurut dia, jika insentif kendaraan listrik sekadar dihentikan pada 2025 tanpa adanya persiapan yang memadai, risikonya sangat besar.
Para pengusaha yang sudah mengambil slot insentif impor sesungguhnya melakukannya sebagai bentuk komitmen awal untuk berinvestasi di pabrik dalam negeri sekaligus membangun rantai pasok lokal demi memenuhi syarat TKDN 40 persen.
Tanpa transisi yang jelas, harga EV berpotensi melonjak drastis hingga 30-40 persen, yang berimbas pada stagnasi pasar.
Dampaknya tidak hanya hilangnya percepatan adopsi EV di Indonesia, tetapi kepercayaan produsen multinasional untuk menanamkan investasi jangka panjang di Tanah Air.