jpnn.com, JAKARTA - Climate Policy Initiative (CPI) melalui pembaruan Dasbor Pembiayaan Sektor Ketenagalistrikan Indonesia mengungkapkan investasi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih jauh tertinggal, dibandingkan dengan investasi bahan bakar fosil pada periode 2019-2023.
Analisis tren investasi ketenagalistrikan Indonesia pada periode tersebut menunjukkan rata-rata investasi tahunan EBT hanya mencapai 1,79 miliar dolar AS.
Angka ini jauh di bawah kebutuhan investasi tahunan sebesar 9,1 miliar dolar AS untuk mencapai target Enhanced NDC Indonesia.
Meskipun Indonesia telah meluncurkan Second NDC dengan estimasi total kebutuhan investasi mencapai 472,6 miliar dolar AS hingga tahun 2035, CPI mencatat tidak ada alokasi sektoral yang secara khusus dilaporkan untuk EBT.
Investasi EBT juga lebih rendah dibandingkan rata-rata tahunan investasi bahan bakar fosil yang tercatat, yaitu sebesar 2,55 miliar dolar AS.
CPI mencatat investasi EBT dominan berasal dari sumber domestik (55%) dan terpusat pada pembangkit listrik EBT berbasis baseload (panas bumi dan tenaga air).
Pembiayaan swasta untuk EBT mendominasi sebesar 60,4%, sementara pembiayaan publik mencapai 37%.
Namun, terdapat tren peningkatan pada pembiayaan untuk EBT variabel (surya dan angin), dari 0,03 miliar dolar AS pada 2019 menjadi 0,68 miliar dolar AS pada 2023.








































