jpnn.com, JAKARTA - Pembatasan zona berjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dianggap tidak efektif.
Dibandingkan dengan aturan restriktif, kampanye edukasi dianggap sebagai upaya lebih konkret untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menyatakan pemerintah sebaiknya melakukan pendekatan yang lebih utuh, seperti mendorong upaya edukasi dibandingkan dengan pembatasan yang terlalu ketat.
Menurutnya, edukasi yang tepat dapat memberi dampak positif yang lebih luas karena tidak hanya mengatasi gejala-gejala yang dapat timbul, tetapi juga membangun kesadaran risiko akibat merokok.
"Kepatuhan terhadap aturan itu menunjukkan bagian dari komitmen edukasi soal risiko merokok. Ditambah lagi, saat ini kami melakukan edukasi serta pemasangan stiker 21+ di warung atau toko penjual rokok secara masif,” kata Henry, Senin (7/4/2025).
Dalam menjalankan edukasi, kata dia, perlu melibatkan institusi seperti para pengajar di satuan pendidikan. Upaya ini perlu dilakukan untuk pemahaman akan risiko merokok pada anak di bawah umur 21 tahun.
"Dengan pendekatan yang komprehensif, kami percaya bahwa upaya menekan prevalensi perokok dapat dilakukan tanpa mengorbankan nasib para pedagang," ujarnya.
Henry juga menyayangkan kenyataan yang terjadi saat ini, di mana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) justru gencar mendorong aturan pelarangan dan pembatasan penjualan rokok, seperti pengaturan terkait larangan penjualan 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.