jpnn.com, JAKARTA - Rencana pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) kembali menuai sorotan.
Dalam Round Table Discussion (RTD) Nagara Institute bersama Akbar Faizal Uncensored (AFU) bertajuk “Menghitung Risiko dan Harapan Superholding BUMN Danantara”, sejumlah tokoh nasional menyoroti risiko fiskal, tata kelola, hingga dampaknya terhadap sektor swasta.
Diskusi yang digelar di Sahid Raya Hotel & Convention Yogyakarta, Selasa (16/12), menegaskan bahwa desain Danantara tidak bisa sekadar meniru model sovereign wealth fund (SWF) negara-negara dengan APBN surplus.
Indonesia, yang masih mengelola APBN defisit, dinilai membutuhkan pendekatan berbeda dan lebih realistis.
Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menilai wacana SWF di Indonesia kerap keliru, karena terlalu mengacu pada contoh negara kaya berbasis surplus anggaran.
Padahal, kondisi fiskal Indonesia berbeda secara fundamental.
“Ada dua model sovereign wealth fund yang jarang diteliti, termasuk SWF negara dengan APBN defisit. Ini yang sering luput dibahas,” ujar Misbakhun.
Dia menegaskan pengelolaan investasi negara seharusnya tetap berpijak pada kerangka besar APBN.












































