jpnn.com, JAKARTA - Temuan awal studi Action Against Stunting Hub (AASH) Indonesia yang dilakukan di Lombok Timur mengungkap perlu adanya upaya promosi pangan sehat dalam upaya penanggulangan stunting di Indonesia.
“Dari temuan awal lingkungan pangan diketahui responden mengalami kesulitan akut (dengan persentase lebih dari 70 persen) dalam komponen informasi dan promosi untuk semua jenis makanan padat gizi yang diteliti (sayuran hijau daun, ayam, ikan),” ujar Ketua Tim Peneliti Sistem Pangan Studi Action Against Stunting Hub (AASH) Dr Ir Umi Fahmida MSc.
Berdasarkan kandungan gizi, perlu keragaman sumber protein untuk pemenuhan gizi yang baik, khususnya pada zat gizi yang bermasalah, dan juga perlunya kombinasi protein hewani.
Contohnya makanan yang memadukan hati, telur, ikan dan tahu/tempe untuk dapat memberikan asupan zat gizi yang lebih lengkap.
“Namun aspek ‘desirability’ pangan padat gizi ini belum optimal dan memerlukan promosi. Promosi pangan sehat selama ini dilakukan tenaga kesehatan, namun dari analisa Agrifood kami menemukan ternyata pedagang sayur secara spontan mengatakan bisa dititipkan untuk promosi pangan sehat,” kata Umi.
Pengolahan pangan padat gizi yang kaya dengan zat besi, kalsium, seng dan folat (disingkat: bekal solat) juga diperlukan.
“Contohnya dibuat abon hati ayam, biskuit ikan teri dan lainnya,” tambah Umi.
Terkait keamanan pangan, kontaminasi mikroba pada rantai pangan ditemukan masih tinggi, khususnya pada pedagang eceran.
Umi yang juga Country Lead AASH Indonesia menambahkan perlu adanya tindak lanjut dari temuan awal itu.
Akan dilakukan analisa dampak paparan seperti gizi, mikrobiom, kesehatan usus, parasit, patogen, stres emosional, maupun lingkungan rumah dalam 1000 hari pertama kehidupan terhadap status epigenetik pada anak dan risiko stunting.
Sebelumnya, pada Kamis (13/2) dilakukan diseminasi temuan awal studi AASH dan diskusi kebijakan percepatan penurunan stunting yang dipandu Rektor Universitas YARSI Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D.