jpnn.com, JAKARTA - Gelombang narasi negatif terhadap mantan Presiden Joko Widodo dan keluarganya belakangan ini menimbulkan keprihatinan banyak pihak.
Isu-isu yang tidak terverifikasi seperti tuduhan ijazah palsu dan rekayasa politik merebak tanpa dasar yang kuat.
Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C. Zulkifli, SH., MH. dalam catatan analisis politiknya menyoroti munculnya pola sistematis pembunuhan karakter yang berpotensi mencederai demokrasi.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mengingatkan bila fitnah dibiarkan menjadi alat politik, maka yang hancur bukan hanya reputasi individu melainkan kepercayaan publik terhadap negara.
"Gelombang fitnah terhadap mantan Presiden Jokowi dan keluarga diduga bukan sekadar kritik, tapi strategi politik menjelang Pilpres 2029," kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Kamis, 23 Oktober 2025.
Menurut dia, sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi adalah fase paling dinamis dalam sejarah modern Indonesia.
Dalam periode itu, bangsa ini menyaksikan percepatan pembangunan infrastruktur, transformasi digital, dan ketegasan diplomasi luar negeri yang menegaskan kedaulatan.
Namun, kata dia, begitu kekuasaan berpindah tangan justru muncul gelombang narasi yang berupaya menggugat seluruh capaian tersebut dengan fitnah dan disinformasi yang sistematis.