jpnn.com, JAKARTA - Angka kasus kekerasan baik dalam ranah domestik maupun di ruang publik kian meningkat dari waktu ke waktu dengan korban terbanyak dari kalangan perempuan.
Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2024 telah terjadi 330.097 kasus kekerasan berbasis gender (KBG), meningkat sejumlah 14,17% dibandingkan tahun 2023.
Berdasarkan pada bentuk kekerasan, data Komnas Perempuan yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan seksual (26,94%), kekerasan psikis (26,94%), kekerasan fisik (26,78%) dan kekerasan ekonomi (9,84%).
Kekerasan berbasis gender maupun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meninggalkan trauma psikologis yang mendalam bagi para penyintas.
Luka trauma yang tidak tertangani dengan baik akan berkembang menjadi gangguan mental kronis, seperti kecemasan, kepribadian, hingga depresi.
Psikolog Klinis dan Mentor Probono Komunitas Broken but Unbroken, Maria M. T. Fernandez, M.Psi. menjelaskan gejala-gejala yang muncul pada penyintas kekerasan umumnya diawali dengan kondisi emosi-emosi negatif yang memenuhi isi hati dan perasaan.
Pengalaman traumatis ini membuat mereka sulit fokus dan mudah menarik diri dari lingkungan sosial, sehingga keberfungsiannya terganggu, baik dalam kegiatan akademik atau performa pekerjaan yang cenderung menurun.
“Dampak psikologis teman-teman penyintas ini juga bisa kita lihat dari segi relasi. Di mana seringkali mereka masih berproses dengan tidak hanya perasaan yang tidak nyaman itu, tapi juga pikiran yang mengganggu. Sehingga fokus mereka untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi jadi terganggu, tidak hanya di sekolah maupun di rumah tangganya, tapi juga di dalam kehidupannya,” ungkap Maria.