jpnn.com, JAKARTA - Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mengkritik kondisi perekonomian nasional yang dinilai hanya menguntungkan segelintir elite, meski pertumbuhan ekonomi mencapai 5,2 persen pada 2025.
Dalam aksi dengan tema "Runtuhkan Ketidakadilan Struktural, Wujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia", GMNI mempertanyakan relevansi angka pertumbuhan ekonomi yang tidak dirasakan langsung oleh rakyat kecil.
Ketua Umum DPP GMNI Sujahri Somar menyatakan ketidakadilan struktural sudah tidak dapat ditoleransi lagi.
"Ketidakadilan tidak lahir secara alamiah, melainkan dipelihara oleh sistem yang timpang, kebijakan yang tidak berpihak, serta birokrasi yang korup dan arogan," kata Sujahri dalam keterangan persnya, Kamis (4/9).
Dia menjelaskan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan realitas yang kontras dengan angka pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan data itu, pekerja informal masih mendominasi dengan persentase 59,40 persen, sementara kesejahteraan buruh terus tergerus praktik outsourcing yang belum dihapus meski telah diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Senada, Sekretaris Jenderal DPP GMNI Amir Mahfut mempertanyakan makna pertumbuhan ekonomi yang tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat.
"Apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika rakyat masih lapar, petani tercekik utang, guru honorer bergaji ratusan ribu, dan buruh dipaksa hidup dengan upah yang tidak manusiawi?" tuturnya.