jpnn.com, JAKARTA - menekankan pentingnya memahami karakteristik zakat dan tidak menyamakan pengelolaannya dengan sistem bisnis berbasis keuntungan.
"Zakat memiliki dimensi spiritual, sosial ekonomi, dan politik. Maka sistem zakat tidak bisa dipaksakan tunduk pada logika bisnis yang profit-oriented, karena hakikatnya adalah maslahat-oriented, bahkan zero profit,” kata Irfan, saat memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (28/5).
Irfan menekankan, perlunya kehati-hatian dalam mengadopsi pendekatan komersial dalam pengelolaan zakat agar tidak kehilangan ruh dan esensi dasarnya.
Menurutnya, zakat bukanlah instrumen pasar bebas yang tunduk pada mekanisme kompetisi atau efisiensi seperti dalam dunia usaha.
"Oleh karena itu, menurut saya, dalam konteks zakat, kita harus kembali ke prinsip-prinsip sistem zakat yang utuh. Seperti filosofi satu tubuh, di mana negara dan masyarakat berperan bersama," ujar Dr. Irfan Syauqi Beik.
Dia juga menyoroti pentingnya membangun integrasi ekosistem zakat yang melibatkan BAZNAS dan berbagai lembaga zakat lainnya secara selaras.
Komunikasi dan kesepahaman harus terus dibangun berdasarkan filosofi yang kuat, bukan sekadar mengadopsi istilah keren seperti “filantropi,” yang dalam esensinya tidak sesuai dengan basis hukum zakat.
"Pengelolaan zakat bukanlah ranah untuk merger, akuisisi, atau kompetisi efisiensi seperti dalam dunia bisnis. Karena itu, saya sering berbeda pandangan dengan mereka yang mengkategorikan zakat sebagai bagian dari filantropi. Filantropi berbasis pada kedermawanan, sedangkan zakat bersifat wajib, atau dalam istilah lain, pemaksaan hukum agama," ujar Irfan.