Bonnie Triyana Sebut Putusan MK Wujudkan Cita-Cita Soekarno Soal Pendidikan Merata

6 hours ago 4

Bonnie Triyana Sebut Putusan MK Wujudkan Cita-Cita Soekarno Soal Pendidikan Merata

Facebook JPNN.com LinkedIn JPNN.com Whatsapp JPNN.com Telegram JPNN.com

Seminar Nasional dengan tema ‘Mewujudkan Amanat Konstitusi, Pendidikan Dasar Gratis Untuk Meningkatkan SDM Unggul Berdaya Saing’ di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Senin (30/6). Foto: Fathan

jpnn.com, JAKARTA - Kepala Badan Sejarah Indonesia PDI Perjuangan, Bonnie Triyana, menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 terkait pembebasan biaya pendidikan dasar di sekolah swasta sebagai langkah historis yang menghancurkan tembok diskriminasi sosial di bidang pendidikan.

Hal ini disampaikan Bonnie dalam Seminat Nasional dengan tema ‘Mewujudkan Amanat Konstitusi, Pendidikan Dasar Gratis Untuk Meningkatkan SDM Unggul Berdaya Saing’ di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Senin (30/6).

“Putusan MK ini memecahkan persoalan pendidikan yang sudah lama bersifat diskriminatif karena status ekonomi. Sekarang kita hancurkan tembok diskriminasi itu, sehingga setiap orang bisa sekolah, tidak lagi terdiskriminasi,” ujar Bonnie.

Dalam seminar ini, hadir sebagai narasumber Hakim MK Arief Hidayat, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Dr. Fajar Rizal Ul Haq ; Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, yang diwakili Staff Ahli Bidang Pengeluaran negara Suprapto , Dr. Lucky Alfirman dan Kepala Organisasi Riset Ilmu) Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN, Dr. Yan Rianto.

Bonnie yang menjadi moderator seminar, menyoroti bahwa bentuk ketidakadilan dalam akses pendidikan bukan hal baru di Indonesia. Menurut Bonnie, pada masa kolonial, hanya anak-anak dari kalangan bangsawan atau elite pribumi yang dapat mengakses pendidikan tinggi. Bonnie merujuk pada gambaran diskriminasi sosial dalam novel Para Priyayi, karya Umar Kayam, yang menceritakan kisah seorang anak pedagang tempe bernama Lantip.

“Lantip ini tidak bisa sekolah karena dia anak orang kecil. Tetapi ketika dipungut oleh keluarga Sastrodarsono yang seorang priyayi, status sosialnya naik dan dia bisa sekolah. Itu di zaman kolonial,” kata Bonnie.

Ia menambahkan, pada masa Belanda pun sekolah dibagi berdasarkan kelas sosial.

“Sekolah tinggi seperti Europeesche Lagere School dan sekolah hukum hanya bisa diakses anak-anak elite. Sementara rakyat biasa hanya bisa masuk sekolah rakyat seperti Ongko Loro, yang paling banter hanya melahirkan buruh atau pekerja kasar,” ungkapnya.

Bonnie yang menjadi moderator seminar, menyoroti bahwa bentuk ketidakadilan dalam akses pendidikan bukan hal baru di Indonesia.

JPNN.com WhatsApp

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Read Entire Article
| | | |