jpnn.com, JAKARTA - Kehadiran teknologi AI di era modern saat ini masih menimbulkan pro dan kontra, termasuk dalam dunia seni. Banyak pertanyaan muncul, apakah produk seni hasil perintah atau prompt artificial intelligence (AI) bisa disebut karya seni?
Apakah AI bisa dianggap sebagai kreator atau hanya alat? Bagaimana dengan hak cipta karya-karya seni yang “diajarkan” ke AI untuk menciptakan ‘karya’ baru?
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul ketika AI mulai mampu digunakan untuk membuat produk seni.
Oleh karena itu, sejumlah seniman, pekerja kreatif, akademisi dan praktisi hukum berkumpul dalam panel diskusi bertajuk “Hak Cipta dan Filosofi AI" pada Jumat malam, 7 Maret lalu di Taman Ismail Marzuki.
Para pencinta seni ini membahas soal potensi pelanggaran hak cipta, kolonialisasi data, risiko bias, dan risiko pelebaran kesenjangan sosial dari penggunaan teknologi kecerdasan buatan yang dikendalikan oleh modal-modal besar.
"Ada sisi-sisi yang tidak dipertimbangkan. Dan itu kenapa sebesar apa pun saya sebagaipeneliti menyukai kecerdasan buatan, kita memang harus tetap skeptis dan bersikap kritispada kecerdasan buatan. Jangan langsung jatuh pada kekaguman dan ketakjuban, bahwamesin ini bisa melakukan apa pun yang kita bayangkan, padahal mesin-mesin ini masihpenuh dengan bias," kata penulis sekaligus dosen filsafat di Universitas Indonesia, Saras Dewi.
Menurut dia, berbagai laporan mengungkap produk-produk AI tersebut dibangun di atas pencurian data.
Namun, di tengah keresahan para seniman dan pekerja kreatif, seorang seniman di Bali mampu menggunakan AI sebagai alat untuk mengembangkan karyanya.