jpnn.com - AKHIR Agustus 2025 kelabu. Situasi panas di Jakarta menjalar ke sejumlah daerah. Gelombang aksi unjuk rasa diwarnai perilaku anarkistis. Ibu Pertiwi menangis.
Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, tewas tergilas baja kendaraan taktis (rantis) Brimob Polri. Amarah massa meluap. Gedung DPRD di sejumlah daerah dibakar entah oleh siapa. Sejumlah kantor polisi membara. Gedung-gedung milik pemerintah daerah, termasuk bangunan bersejarah Grahadi Surabaya, disasar massa. Entah siapa mereka.
Rumah beberapa artis anggota DPR RI dan Sri Mulyani saat masih menjadi Menteri Keuangan dimasuki massa tanpa permisi. Aksi penjarahan yang disiarkan langsung di medsos menjadi noda di lembaran sejarah bangsa. Menegasikan karakter masyarakat berlabel murah senyum dan sopan.
Tuntutan para burah dan mahasiswa yang turun ke jalan pada 25 Agustus dan 3 hari setelahnya, menguap bersama kepulan asap hitam di mana-mana.
Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah (HOSTUM), Naikkan Upah Minimum tahun 2026 sebesar 8,5% sampai 10,5%, Stop PHK, Bentuk Satgas PHK, Reformas? Pajak Perburuhan, dan lain sebagainya, tenggelam oleh hiruk-pikuk kabar mencekam.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa ada brutalisme massal yang tidak terduga?
Banyak analis berpendapat, pokok subtansi ialah sederat masalah berat yang dipendam rakyat. Kenaikan pajak di tengah sulitnya perekonomian, tidak gampang mendapat lapangan pekerjaan, justru yang dibaca setiap hari berita PHK massal, ada joget-joget di Senayan saat efisiensi anggaran terus digaungkan, rekening pasif diblokir tanpa basa-basi, pejabat ditambahi lagi jabatannya sebagai komisaris BUMN, dan masih banyak lagi persoalan yang dianggap sebagai akar kemarahan.
Anggapan tersebut tidak salah, jika teori Triad Kognitif Beck dijadikan kacamata melihat tragedi di atas.