jpnn.com, JAKARTA - Pakar keadilan restoratif Hudi Yusuf menilai semangat Jaksa Agung dalam mendorong penerapan Restorative Justice (RJ) melalui penghargaan Adhyaksa Award 2025 patut diapresiasi.
Menurutnya, langkah ini dapat memotivasi jajaran kejaksaan untuk lebih mengedepankan penyelesaian perkara secara damai di luar pengadilan.
Hudi menjelaskan, penerapan RJ membawa banyak manfaat, termasuk efisiensi anggaran negara yang harus menanggung biaya perkara yang terus meningkat.
Selain itu, RJ juga membantu mengurangi kelebihan kapasitas di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan yang selama ini menjadi persoalan serius akibat jumlah pelaku kejahatan yang terus bertambah.
Namun, dia mengingatkan bahwa kewenangan jaksa berdasarkan undang-undang adalah sebagai penuntut umum, bukan menyelesaikan perkara.
Selama ini, pelaksanaan RJ di kejaksaan hanya didasarkan pada Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020, yang menurut Hudi belum memberikan kepastian hukum karena hasil RJ belum memiliki kekuatan hukum tetap.
"Perdamaian antara pelaku dan korban yang difasilitasi kejaksaan masih berisiko disengketakan kembali karena tidak memiliki ketetapan hukum. Untuk itu, hasil RJ sebaiknya dilanjutkan ke pengadilan agar mendapatkan legitimasi hukum yang mengikat," ujar Hudi, dalam keterangannya, Kamis (15/5).
Dia menambahkan, meskipun RJ telah menjadi prioritas global, praktik RJ secara tradisional sudah lama dilakukan di masyarakat adat di Indonesia.