jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XII DPR RI Yulisman menegaskan penerapan mandatory biodiesel B50 pada tahun 2026 harus diiringi dengan persiapan matang di aspek ekonomi, ketersediaan bahan baku, dan dampak lingkungan.
Menurutnya, kebijakan B50 akan menjadi langkah strategis mengurangi ketergantungan impor BBM, meningkatkan nilai tambah sawit nasional sekaligus memperkuat komitmen Indonesia terhadap Net Zero Emission 2060.
“B50 ini momentum penting bagi transisi energi nasional. Selain menghemat devisa karena impor solar berkurang, program ini akan mendorong hilirisasi industri sawit dan memperkuat perekonomian daerah penghasil sawit seperti Riau, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan provinsi lainnya,” ujar Yulisman di Jakarta, Jumat (26/9).
Berdasarkan data terbaru, impor solar Indonesia pada tahun 2024 mencapai 13,15 juta kiloliter (KL).
Dengan program biodiesel yang telah diterapkan sebelumnya (misalnya B35/B40), pemerintah mencatat penghematan devisa hingga US$ 9,33 miliar atau setara Rp 147,5 triliun dari tekanan impor solar yang berhasil ditekan.
Dengan demikian, jika B50 berhasil menekan impor hingga 50 persen, potensi penghematan devisa bisa mencapai puluhan hingga ratusan triliun rupiah tiap tahunnya, tergantung harga pasar minyak dan kurs rupiah.
Namun, Yulisman mengingatkan bahwa pemerintah perlu memastikan ketersediaan bahan baku FAME yang diproyeksikan mencapai 19 juta KL per tahun untuk B50.
Kapasitas produksi biodiesel nasional saat ini diperkirakan di kisaran 17 juta KL per tahun, sehingga dibutuhkan ekspansi kilang biodiesel minimal ±2–3 juta KL serta penguatan infrastruktur distribusi dan penyimpanan BBM.